Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa pada
masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi
adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang
didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Apa yang disebut dengan orang atau
suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok
etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah
lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Bali, Bugis,
Makassar, Ambon, dan Melayu serta suku-suku pendatang, seperti Arab,
India, Tionghoa, dan Eropa.
Etimologi Betawi
Kata
Betawi digunakan
untuk menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta dan bahasa
Melayu Kreol yang digunakannya, dan juga kebudayaan Melayunya. Kata
Betawi berasal dari kata "Batavia," yaitu nama lain dari Jakarta pada
masa Hindia Belanda, kemudian penggunaan kata Betawi sebagai sebuah suku
yang termuda, diawali dengan pendirian sebuah organisasi yang
bernama Perkoempoelan Kaoem Betawi yang lahir pada tahun 1923.[1]
Sejarah
Diawali
oleh orang Sunda (mayoritas), sebelum abad ke-16 dan masuk ke
dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian Pakuan Pajajaran. Selain
orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir
utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari Malaka di
semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India.
Selain
itu, perjanjian antara Surawisesa (raja Kerajaan Sunda) dengan bangsa
Portugis pada tahun 1512 yang membolehkan Portugis untuk membangun suatu
komunitas di Sunda Kalapa mengakibatkan perkawinan campuran antara
penduduk lokal dengan bangsa Portugis yang menurunkan darah campuran
Portugis. Dari komunitas ini lahir musik keroncong.
Setelah VOC menjadikan
Batavia sebagai pusat kegiatan niaganya, Belanda memerlukan banyak
tenaga kerja untuk membuka lahan pertanian dan membangun roda
perekonomian kota ini. Ketika itu VOC banyak membeli budak dari penguasa
Bali, karena saat itu di Bali masih berlangsung praktik
perbudakan.[2] Itulah penyebab masih tersisanya kosa kata dan tata
bahasa Bali dalam bahasa Betawi kini. Kemajuan perdagangan Batavia
menarik berbagai suku bangsa dari penjuru Nusantara hingga Tiongkok,
Arab dan India untuk bekerja di kota ini. Pengaruh suku bangsa pendatang
asing tampak jelas dalam busana pengantin Betawi yang banyak
dipengaruhi unsur Arab dan Tiongkok. Berbagai nama tempat di Jakarta
juga menyisakan petunjuk sejarah mengenai datangnya berbagai suku bangsa
ke Batavia; Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Ambon, Kampung Jawa,
Kampung Makassar dan Kampung Bugis. Rumah Bugis di bagian utara Jl.
Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun 1690. Pada
awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah
Kota.
Antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab,
MA memperkirakan, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu,
antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah
demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance
Castle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus,
yang dibuat berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus
penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai
golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.
Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis
yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moor, orang Bali,
Jawa, Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa,
orang Ambon dan Banda, dan orang Melayu. Kemungkinan kesemua suku bangsa
Nusantara dan Arab Moor ini dikategorikan ke dalam kesatuan penduduk
pribumi (Belanda:
inlander) di Batavia yang kemudian terserap ke dalam kelompok etnis Betawi.
Suku Betawi
Pada
tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada
justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut.
Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas
penduduk Batavia waktu itu.
Antropolog Universitas Indonesia
lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang
Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar.
Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri
berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran,
orang Senen, atau orangRawabelong.
Pengakuan terhadap adanya orang
Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan
politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul
pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi
mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap
orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan
orang Betawi.
Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak
hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng Batavia yang dibangun
oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut yang
disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar benteng Batavia
tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di
Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.
Setelah kemerdekaan
Sejak
akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan
(1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang
Betawi — dalam arti apapun juga — tinggal sebagai minoritas. Pada
tahun 1961, 'suku' Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara
2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke
pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta.
Proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini
terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah ’suku’ Betawi
hadir di bumi Nusantara.
Seni dan kebudayaan
Budaya
Betawi merupakan budaya mestizo, atau sebuah campuran budaya dari
beragam etnis. Sejak zaman Hindia Belanda, Batavia (kini Jakarta)
merupakan ibu kota Hindia Belanda yang menarik pendatang dari dalam dan
luar Nusantara. Suku-suku yang mendiami Jakarta antara
lain, Jawa, Sunda, Minang, Batak, dan Bugis. Selain dari penduduk
Nusantara, budaya Betawi juga banyak menyerap dari budaya luar,
seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugis.
Suku Betawi
sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk
pendatang. Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang
ada di provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten. Budaya Betawi pun
tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun budaya barat.
Untuk melestarikan budaya Betawi, didirikanlah cagar budaya di Situ
Babakan.
Bahasa
Sifat campur-aduk
dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum,
yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang
berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.
Ada
juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah
sekitar Batavia juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto
Betawi). Menurut sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di
Sundapura atau Sunda Kalapa, pernah diserang dan ditaklukkan oleh
kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau
etnis Sunda di pelabuhan Sunda Kalapa, jauh sebelum Sumpah Pemuda, sudah
menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang
kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.
Karena perbedaan
bahasa yang digunakan tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda
menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang
berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi (kata
turunan dari Batavia). Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama
sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata
Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung
dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan
lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam
naskah kuno Bujangga Manik[3] yang saat ini disimpan di perpustakaan
Bodleian, Oxford, Inggris.
Meskipun bahasa formal yang digunakan
di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa
percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi. Dialek
Betawi sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah dan
dialek Betawi pinggir. Dialek Betawi tengah umumnya berbunyi "é"
sedangkan dialek Betawi pinggir adalah "a". Dialek Betawi pusat atau
tengah seringkali dianggap sebagai dialek Betawi sejati, karena berasal
dari tempat bermulanya kota Jakarta, yakni daerah perkampungan Betawi di
sekitar Jakarta Kota, Sawah Besar, Tugu, Cilincing, Kemayoran, Senen,
Kramat, hingga batas paling selatan di Meester (Jatinegara). Dialek
Betawi pinggiran mulai dari Jatinegara ke Selatan, Condet, Jagakarsa,
Depok, Rawa Belong, Ciputat hingga ke pinggir selatan hingga Jawa Barat.
Contoh penutur dialek Betawi tengah adalah Benyamin S., Ida Royani dan
Aminah Cendrakasih, karena mereka memang berasal dari daerah Kemayoran
dan Kramat Sentiong. Sedangkan contoh penutur dialek Betawi pinggiran
adalah Mandra dan Pak Tile. Contoh paling jelas adalah saat mereka
mengucapkan
kenape/kenapa'' (mengapa). Dialek Betawi tengah
jelas menyebutkan "é", sedangkan Betawi pinggir bernada "a" keras mati
seperti "ain" mati dalam cara baca mengaji Al Quran.
Musik
Dalam
bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang
Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga
ada Rebana yang berakar pada tradisi musikArab, Keroncong Tugu dengan
latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang berlatarbelakang
ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang
Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong. Betawi juga memiliki lagu
tradisional seperti "Kicir-kicir".
Tari
Seni
tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya
masyarakat yang ada di dalamnya. Contohnya tari Topeng Betawi, Yapong
yang dipengaruhi tari JaipongSunda, Cokek dan lain-lain. Pada awalnya,
seni tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan Tiongkok, seperti tari
Yapong dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing. Namun Jakarta
dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama juga
muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.
Drama
Drama
tradisional Betawi antara lain Lenong dan Tonil. Pementasan lakon
tradisional ini biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat
Betawi, dengan diselingi lagu, pantun, lawak, dan lelucon jenaka.
Kadang-kadang pemeran lenong dapat berinteraksi langsung dengan
penonton.
Cerita rakyat
Cerita
rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah
dikenal seperti Si Pitung, juga dikenal cerita rakyat lain seperti
serial Jagoan Tulen atau si jampang yang mengisahkan jawara-jawara
Betawi baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang dikenal "keras".
Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal
cerita Nyai Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman kolonial. creita
lainnya ialah Mirah dari Marunda, Murtado Macan Kemayoran, Juragan
Boing dan yang lainnya.
Senjata tradisional
Senjata khas Jakarta adalah
bendo atau golok yang bersarungkan terbuat dari kayu.
Kepercayaan
Sebagian
besar Orang Betawi menganut agama Islam, tetapi yang menganut
agama Kristen; Protestan dan Katolik juga ada namun hanya sedikit
sekali. Di antara suku Betawi yang beragama Kristen, ada yang menyatakan
bahwa mereka adalah keturunan campuran antara penduduk lokal dengan
bangsa Portugis. Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa,
raja Sunda mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan
Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa sehingga
terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini
sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.
Profesi
Di Jakarta,
orang Betawi sebelum era pembangunan orde baru, terbagi atas beberapa
profesi menurut lingkup wilayah (kampung) mereka masing-masing. Semisal
di kampung Kemanggisan dan sekitaran Rawabelong banyak dijumpai para
petani kembang (anggrek, kemboja jepang, dan lain-lain). Dan secara umum
banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik semisal K.H. Djunaedi, K.H.
Suit, dll. Profesi pedagang, pembatik juga banyak dilakoni oleh kaum
betawi. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh warga Kemanggisan.
Kampung
yang sekarang lebih dikenal dengan Kuningan adalah tempat para peternak
sapi perah. Kampung Kemandoran di mana tanah tidak sesubur Kemanggisan.
Mandor, bek, jagoan silat banyak di jumpai disana semisal Ji'ih teman
seperjuangan Pitung dari Rawabelong. Di kampung Paseban banyak warga
adalah kaum pekerja kantoran sejak zaman Belanda dulu, meski kemampuan
pencak silat mereka juga tidak diragukan. Guru, pengajar, ustadz, dan
profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.
Warga Tebet aslinya
adalah orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena saat itu program
Ganefo yang dicetuskan oleh Bung Karno menyebabkan warga Betawi eksodus
ke Tebet dan sekitarnya untuk "terpaksa" memuluskan pembuatan kompleks
olahraga Gelora Bung Karno yang kita kenal sekarang ini. Karena
asal-muasal bentukan etnis mereka adalah multikultur (orang Nusantara,
Tionghoa, India, Arab, Belanda, Portugis, dan lain-lain), profesi
masing-masing kaum disesuaikan pada cara pandang bentukan etnis dan
bauran etnis dasar masing-masing.
Perilaku dan sifat
Asumsi
kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil,
baik dalam segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak
sedikit orang Betawi yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah Muhammad
Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo yang
menjadi Gubernur Jakarta saat ini .
Ada beberapa hal yang positif
dari Betawi antara lain jiwa sosial mereka sangat tinggi, walaupun
kadang-kadang dalam beberapa hal terlalu berlebih dan cenderung
tendensius. Orang Betawi juga sangat menjaga nilai-nilai agama yang
tercermin dari ajaran orangtua (terutama yang beragama Islam), kepada
anak-anaknya. Masyarakat Betawi sangat menghargai pluralisme. Hal ini
terlihat dengan hubungan yang baik antara masyarakat Betawi dan
pendatang dari luar Jakarta.
Orang Betawi sangat menghormati
budaya yang mereka warisi. Terbukti dari perilaku kebanyakan warga yang
mesih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa ke masa
seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain.
Memang
tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat Betawi
masa kini agak terpinggirkan oleh modernisasi di lahan lahirnya sendiri
(baca : Jakarta). Namun tetap ada optimisme dari masyarakat Betawi
generasi mendatang yang justru akan menopang modernisasi tersebut.